Belajar Tauhid
2.84K subscribers
457 photos
29 videos
287 files
1.41K links
Terima kasih telah bergabung dengan Chanel Belajar Tauhid dan semoga materi yang ada bermanfaat bagi kita semua.
.
Link e-Book & e-Paper Belajar Tauhid: http://bit.ly/ebook-gratis-belajartauhid
.
Salam 'alaikum
Download Telegram
⛔️ [Serial Larangan Akidah] Janganlah memerangi sesama muslim ⛔️

Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَـبَابُ الْمُـسْلِمِ فُـسُوقٌ وَقِـتَالُهُ كُـفْرٌ

“Mencaci seorang muslim adalah kefasikan sedangkan memeranginya adalah kekufuran.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Penjelasan ringkas

Hadits ini merupakan dalil keharaman mencela dan mencaci maki karena pelakunya bisa memperoleh label fasik seperti yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, hadits ini juga dalil bahwa memerangi seorang muslim adalah tindakan kriminal dan tergolong kekufuran. Tidak ragu lagi bahwa orang yang menghalalkan darah saudara sesama muslim adalah kafir berdasarkan ijmak alim ulama, karena ia telah menghalalkan sesuatu yang diharamkan Allah, yaitu menumpahkan darah kaum muslimin. Namun, hadits di atas tidaklah berkaitan dengan penghalalan yang dimaksud, karena memerangi dan membunuh seorang muslim tidak berkonsekuensi pelakunya berstatus kafir sehingga keluar dari agama Islam.

Allah ta’ala berfirman,

وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya!” [Al-Hujurat : 9]

Allah ta’ala melanjutkan,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” [Al-Hujurat : 10]

Kita bisa melihat pada ayat di atas, Allah ta’ala tetap menyebut mereka sebagai saudara meski sebelumnya saling memerangi. Hal itu menunjukkan pokok keimanan mereka tetap ada, sehingga kata “kekufuran” pada hadits di atas diinterpretasikan oleh alim ulama dengan sejumlah makna.

An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

فسب المسلم بغير حق حرام بإجماع الأمة، وفاعله فاسق كما أخبر به النبي صلى الله عليه وسلم، وأما قتاله بغير حق فلا يكفر به عند أهل الحق كفرا يخرج به من الملة إلا إذا استحله، فإذا تقرر هذا، فقيل في تأويل الحديث أقوال: أحدها: أنه في المستحل، والثاني: أن المراد كفر الإحسان والنعمة وأخوة الإسلام لا كفر الجحود. والثالث: أنه يؤول إلى الكفر بشؤمه. والرابع: أنه كفعل الكفار

“Mencela seorang muslim tanpa alasan yang benar adalah perbuatan yang haram berdasarkan ijmak kaum muslimin. Pelakunya adalah fasik seperti yang diinformasikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan memeranginya tanpa alasan yang tepat, menurut alim ulama, bukanlah kekufuran yang bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam, kecuali dia menghalalkan perbuatan itu.
Oleh karena itu, terdapat sejumlah makna dalam mengartikan kekufuran yang disebutkan dalam hadits di atas.

Pertama, kata kekufuran di atas tertuju pada orang yang memang menghalalkannya.

Kedua, kekufuran yang dimaksud adalah kekufuran terhadap kebaikan, kenikmatan, dan persaudaraan Islam, bukan kekufuran yang bersifat penentangan.

Ketiga, perbuatan memerangi sesama muslim bisa mengantarkan pelakunya pada kekufuran.

Keempat, perbuatan memerangi sesama muslim itu layaknya tindakan orang-orang kafir.” [Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim].

#serial_larangan_akidah

_Silakan disebarluaskan_

═══ ¤❁✿❁¤ ═══
*Telegram:* t.me/ayobelajartauhid
*Broadcast harian via WA:* bit.ly/daftar-broadcast-belajar-tauhid
═══ ¤❁✿❁¤ ═══
[Serial Larangan Akidah] Janganlah menyimpang dari jama’ah dan pemimpin kaum muslimin (1)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ خَرَجَ مِن الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الجماعةَ فماتَ ماتَ مِيتةً جَاهلية،

“Setiap orang yang tidak mau menaati penguasa kaum muslimin (dalam perkara kebajikan) dan memisahkan diri dari jama’ah, kemudian meninggal maka dia meninggal sebagaimana kematian orang yang hidup di masa jahiliyah.” [HR. Muslim]

Penjelasan ringkas

Hadits yang senada diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, beliau menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

"Siapapun yang melihat sesuatu dari pemimpinnya yang tak disukainya, hendaklah ia bersabar terhadapnya, sebab siapa yang memisahkan diri sejengkal dari jama'ah, kecuali dia mati dalam jahiliyah." [HR. Al-Bukhari]

Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan hadits di atas dengan perkataannya,

وقوله (شبراً) بكسر المعجمة وسكون الموحدة وهي كناية عن معصيته السلطان ومحاربته، قال ابن أبي جمرة: المراد بالمفارقة السعي في حل عقد البيعة التي حصلت لذلك الأمير ولو بأدنى شيء، فكنى عنها بمقدار الشبر، لأن الأخذ في ذلك يؤول إلى سفك الدماء بغير حق

“Kata ‘sejengkal’ merupakan kiasan atas kemaksiatan dan penentangannya pada penguasa. Ibnu Abi Hamzah mengatakan, Al-Mufaraqah adalah upaya untuk melepaskan diri dari ikatan bai’at yang telah ada untuk penguasa tersebut, meski dengan upaya sekecil apa pun. Upaya itu dikiaskan dengan sejengkal karena meski kecil hal itu bisa berujung pada penumpahan darah tanpa hak.” [Fath al-Baari 13/6-7]

Beliau melanjutkan,

والمراد بالميتة الجاهلية وهي بكسر الميم حالة الموت كموت أهل الجاهلية على ضلال وليس له إمام مطاع، لأنهم كانوا لا يعرفون ذلك، وليس المراد أنه يموت كافراً بل يموت عاصياً

“Kematian dalam kondisi jahiliyah adalah meninggal sebagaimana kematian orang yang hidup di masa jahiliyah yang berada di atas kesesatan dan tidak memiliki pemimpin yang dipatuhi, karena mereka tidak mengenal aturan itu. Bukanlah maksudnya meninggal dalam kondisi kafir, tapi meninggal sedang dia dalam kondisi bermaksiat.” [Fath al-Baari 13/17]

Ibnu Hajar juga mengatakan,

قال بن بطال في الحديث حجة في ترك الخروج على السلطان ولو جار وقد أجمع الفقهاء على وجوب طاعة السلطان المتغلب والجهاد معه وأن طاعته خير من الخروج عليه لما في ذلك من حقن الدماء وتسكين الدهماء، وحجتهم هذا الخبر وغيره مما يساعده، ولم يستثنوا من ذلك إلا إذا وقع من السلطان الكفر الصريح فلا تجوز طاعته في ذلك بل تجب مجاهدته لمن قدر عليها

“Ibnu Bathal mengatakan bahwa dalam hadits ini terdapat dalil haramnya memberontak kepada penguasa (muslim) walaupun ia zalim. Ulama telah sepakat akan kewajiban menaati penguasa yang berhasil menguasai pemerintahan. Wajib berjihad bersamanya. Menaatinya lebih baik daripada memberontak, karena menaatinya akan menjaga darah dan menstabilkan keamanan masyarakat. Dalil mereka adalah hadits ini dan hadits lain yang mendukung. Tidak ada pengecualian dalam hal ini kecuali apabila penguasa melakukan kekufuran nyata, maka tidak boleh menaatinya dalam hal itu bahkan wajib memakzulkannya bagi orang yang mampu.” [Fath al-Baari 13/7]

bersambung

#serial_larangan_akidah
[Serial Larangan Akidah] Janganlah menyimpang dari jama’ah dan pemimpin kaum muslimin (2)

Dalam hadits lain, dari Junadah bin Abi Umayyah, ia berkata,

دَخَلْنا علَى عُبادَةَ بنِ الصَّامِتِ، وهو مَرِيضٌ، قُلْنا: أصْلَحَكَ اللَّهُ، حَدِّثْ بحَدِيثٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ به، سَمِعْتَهُ مِنَ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، قالَ: دَعانا النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فَبايَعْناهُ، فقالَ فِيما أخَذَ عَلَيْنا: أنْ بايَعَنا علَى السَّمْعِ والطَّاعَةِ، في مَنْشَطِنا ومَكْرَهِنا، وعُسْرِنا ويُسْرِنا وأَثَرَةً عَلَيْنا، وأَنْ لا نُنازِعَ الأمْرَ أهْلَهُ، إلَّا أنْ تَرَوْا كُفْرًا بَواحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فيه بُرْهانٌ.

“Kami masuk menemui Ubadah bin Shamit yang sedang sakit. Kami pun mendoakannya, ‘Semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda’. Sampaikanlah sebuah hadits yang anda dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam semoga Allah memberi manfaat kepada Anda dengannya. Ubadah menuturkan, ”Dahulu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memanggil kami agar berbai’at (bersumpah setia) kami kepada beliau. Maka pernyataan sumpah setia yang beliau ambil dari kami adalah agar kami mendengar dan ta’at dalam kondisi suka maupun tidak suka, di waktu lapang maupun sulit, serta di saat penguasa memonopoli harta negara dan mengorbankan kepentingan kami. Dan berbai’at agar tidak menggulingkan penguasa dari kekuasaannya, kecuali jika kami melihat kekufuran yang nyata, yang didukung bukti nyata dari agama Allah.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan,

ومعنى الحديث لا تنازعوا ولاة الأمور في ولايتهم ولا تعترضوا عليهم إلا أن تروا منهم منكرا محققا تعلمونه من قواعد الإسلام فإذا رأيتم ذلك فأنكروه عليهم وقولوا بالحق حيث ما كنتم وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين وإن كانوا فسقة ظالمين وقد تظاهرت الأحاديث بمعنى ما ذكرته وأجمع أهل السنة أنه لا ينعزل السلطان بالفسق

“Makna hadits ini adalah janganlah kalian menentang kekuasaan penguasa. Jangan pula melawan mereka, kecuali kalian melihat mereka melakukan kemungkaran yang nyata, yang diketahui menyimpang dari aturan-aturan Islam. Jika kalian melihat hal itu, maka nasehatilah mereka dan katakan kebenaran di mana pun kalian berada. Adapun melakukan kudeta dan memerangi mereka adalah haram menurut kesepakatan kaum muslimin sekalipun mereka berbuat fasik lagi zalim. Sungguh banyak sekali hadits-hadits yang menjelaskan tentang apa yang aku ungkapkan tersebut dan Ahlu Sunnah bersepakat bahwa tidak boleh memakzulkan penguasa dengan alasan kefasikan (pelaku dosa).” [Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim 12/229]

#serial_larangan_akidah

Silakan disebarluaskan

═══ ¤❁✿❁¤ ═══
*Telegram:* t.me/ayobelajartauhid
*Broadcast harian via WA:* bit.ly/daftar-broadcast-belajar-tauhid
═══ ¤❁✿❁¤ ═══
⛔️ [Serial Larangan Akidah] Janganlah menaati seorang pun, jika dia memerintahkan untuk melakukan kemaksiatan, karena ketaatan itu hanya dalam hal yang baik ⛔️

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

السَّمْعُ والطَّاعَةُ علَى المَرْءِ المُسْلِمِ فِيما أحَبَّ وكَرِهَ، ما لَمْ يُؤْمَرْ بمَعْصِيَةٍ، فإذا أُمِرَ بمَعْصِيَةٍ فلا سَمْعَ ولا طاعَةَ

“Seorang muslim berkewajiban untuk mendengarkan dan menaati perintah penguasa, baik perintah itu disukai aupun tidak. Hal ini berlaku selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Apabila seorang muslim diperintah melaksanakan kemaksiatan, maka tidak ada kewajiban untuk mendengarkan dan menaati perintah tersebut.” [HR. Al-Bukhari]

Penjelasan ringkas

1⃣ Menaati penguasa muslim adalah perintah Allah kepada orang-orang beriman yang disebutkan dalam al-Quran. Allah ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” [An-Nisa : 59]

Karena diperintahkan Allah ta’ala, maka menaati penguasa muslim adalah suatu ibadah sebagaimana halnya shalat, zakat, puasa, dan ibadah yang lain, sehingga ketaatan itu bernilai pahala.

2⃣ Ulil Amri adalah setiap muslim yang diberikan kekuasaan oleh Allah terhadap orang yang berada di bawahnya, yang terdepan adalah mereka yang ditakdirkan memegang tampuk kepemimpinan di suatu negara, seperti raja, amir, presiden, dan semisalnya. Setiap orang yang diberi wewenang kekuasaan oleh penguasa pun tercakup dalam makna ulil amri. Demikian pula, alim ulama juga tercakup sebagai ulim amri sebagaimana tafsiran ulama terhadap ayat ke-59 surat an-Nisa. Perintah mereka wajib ditaati tatkala memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.

3⃣ Allah memerintahkan setiap muslim untuk menaati ulil amri dalam setiap perintah mereka, baik hal itu disukai atau tidak, karena kondisi suatu negara tidak akan stabil dan aman jika ketaatan kepada penguasa tiada. Akan tetapi, aturan agama memberikan batasan untuk ketaatan kepada mereka sehingga batasan itu tidak boleh melampaui batas. Ketaatan kepada penguasa dibatasi hanya pada perkara yang ma’ruf, sehingga tidak ada kewajiban taat dalam urusan kemaksiatan. Oleh karena itu, ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, ulil amri wajib menahan diri untuk tidak memerintahkan suatu kemaksiatan kepada Allah ta’ala. Kedua, setiap orang wajib memprioritaskan ketaatan pada Allah di atas ketaatan pada orang lain, karena kewajiban menaati ulil amri pada dasarnya adalah salah satu bentuk menaati Allah ta’ala, sehingga tidaklah logis apabila kita diperintahkan menaati ulil amri dalam setiap perkara, meski hal itu bertentangan dengan perintah dan aturan Allah ta’ala.

4⃣ Apabila ulil amri ternyata menetapkan suatu aturan yang bernilai kemaksiatan kepada Allah ta’ala, maka kita tidak boleh menaati perintah itu. Ketidaktaatan itu hanya berlaku pada perintah yang mengandung kemaksiatan itu saja, bukan pada seluruh perintah dan larangan mereka. demikian pula, tidak boleh memberontak kepada mereka semata-mata dengan alasan itu, bahkan setiap muslim dituntunkan untuk mengoreksi dan menasihati mereka dengan cara yang hikmah agar mereka tahu bahwa apa yang diperintahkan mereka merupakan kemaksiatan.

5⃣ Ketentuan di atas juga berlaku untuk orang lain. Misalnya, jika orang tua memerintahkan kemaksiatan, maka tidak boleh menaati perintah tersebut dan menjadi kewajiban kita untuk menjelaskan dan menyampaikan bahwa hal itu tidak sejalan dengan aturan agama.

Wallahu a'lam.

#serial_larangan_akidah

_Silakan disebarluaskan_

═══ ¤❁✿❁¤ ═══
*Telegram:* t.me/ayobelajartauhid
*Broadcast harian via WA:* bit.ly/daftar-broadcast-belajar-tauhid
═══ ¤❁✿❁¤ ═══
[Serial Larangan Akidah] Janganlah beramal dengan harapan dilihat atau didengar oleh orang lain

Allah ta’ala berfirman,

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَىٰ إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَٰهُكُمْ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Sembahan kamu itu adalah Sembahan yang Esa. Setiap orang yang mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya" [Al-Kahfi : 110]

Penjelasan ringkas

Orang lain sedikit pun tidak mampu memberikan kemanfaatan kepada kita tanpa seizin-Nya dan tidak dapat menyelamatkan kita dari siksa-Nya. Beramal dengan harapan dilihat (riya) dan didengar orang lain (sum’ah) hanyalah akan menghapus dan melenyapkan pahala amal, bahkan mendatangkan dosa. Allah ta’ala hanya menerima amal yang dilakukan sesuai dengan tuntunan dan ikhlas karena mengharapkan ridha-Nya.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as’Sidiy rahimahullah mengatakan,

أي: { قُلْ ْ} يا محمد للكفار وغيرهم: { إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ ْ} أي: لست بإله، ولا لي شركة في الملك، ولا علم بالغيب، ولا عندي خزائن الله، { إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ ْ} عبد من عبيد ربي، { يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ ْ} أي: فضلت عليكم بالوحي، الذي يوحيه الله إلي، الذي أجله الإخبار لكم: أنما إلهكم إله واحد، أي: لا شريك له، ولا أحد يستحق من العبادة مثقال ذرة غيره، وأدعوكم إلى العمل الذي يقربكم منه، وينيلكم ثوابه، ويدفع عنكم عقابه. ولهذا قال: { فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا ْ} وهو الموافق لشرع الله، من واجب ومستحب، { وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ْ} أي: لا يرائي بعمله بل يعمله خالصا لوجه الله تعالى، فهذا الذي جمع بين الإخلاص والمتابعة، هو الذي ينال ما يرجو ويطلب، وأما من عدا ذلك، فإنه خاسر في دنياه وأخراه، وقد فاته القرب من مولاه، ونيل رضاه.

“Katakanlah wahai Muhammad kepada orang kafir dan selain mereka bahwa saya hanyalah manusia biasa seperti kalian. Saya bukanlah tuhan. Saya tidaklah memiliki saham dalam pengaturan alam semesta dan tak memiliki pengetahuan dalam hal gaib. Demikian pula, perbendaharaan Allah, tidak saya miliki. Saya hanyalah manusia biasa seperti kalian, seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya, hanyasaja saya diberi kelebihan dengan wahyu yang diturunkan kepadaku untuk menginformasikan kepada kalian bahwa Sembahan kalian yang hak adalah Sembahan yang Esa, tidak memiliki sekutu, dimana selain Dia tidak memiliki hak untuk diibadahi meski seberat biji dzarrah. Saya menyeru untuk melakukan segala amal yang bisa mendekatkan diri kalian kepada-Nya, sehingga pahala-Nya bisa diraih dan siksa-Nya bisa terhindarkan.

Itulah mengapa Allah kemudian berfirman yang artinya, ‘Setiap orang yang mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh’, yaitu amal ibadah yang sesuai dengan syari’at Allah, baik yang hukumnya wajib atau pun mustahab. ‘Dan tidak mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya’, yaitu tidak mengerjakan amal ibadah itu dengan riya, tetapi dia melakukannya dengan ikhlas demi melihat Wajah Allah ta’ala. Amal ibadah yang mengumpulkan dua hal ini, yaitu ikhlas dan mutaaba’ah (sesuai tuntunan) adalah amal ibadah yang bisa mengantarkan pada pahala yang diinginkan dan dicari oleh hamba. Adapun orang yang melakukan amal ibadah selain itu, yaitu amal ibadah yang dicampuri dengan riya dan sum’ah, maka sungguh dia justru akan merugikan diri sendiri di dunia dan akhirat, karena dia mengabaikan kesempatan untuk memperoleh kedekatan dan ridha Allah, Sang Pencipta” [Taisir Karim ar-Rahman].

#serial_larangan_akidah

_Silakan disebarluaskan_

═══ ¤❁✿❁¤ ═══
*Telegram:* t.me/ayobelajartauhid
*Broadcast harian via WA:* bit.ly/daftar-broadcast-belajar-tauhid
═══ ¤❁✿❁¤ ═══
⛔️ [Serial Larangan Akidah] Janganlah melakukan kemaksiatan secara terang-terangan di hadapan publik dan janganlah mengekspos dosa jika tak ada orang yang mengetahui (1) ⛔️

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُلُّ أَمَّتِى مُعَافًى إِلاَّ الْمُجَاهِرِينَ ، وَإِنَّ مِنَ الْمَجَانَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ، ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللَّهُ ، فَيَقُولَ يَا فُلاَنُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا ، وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

“Seluruh umatku pasti selamat kecuali orang yang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan. Termasuk bermaksiat terang-terangan adalah adalah seorang berbuat dosa pada malam hari, tanpa diketahui siapa pun. Namun di pagi hari dia berkata, ‘Wahai fulan semalam aku telah melakukan kemaksiatan ini dan ini’. Allah telah menutupi kemaksiatan yang dilakukan di malam hari, tetapi di pagi hari dia malah menyibak sendiri tabir yang Allah berikan untuk menutupi kemaksiatan itu.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Penjelasan ringkas

Al-Munawi rahimahullah mengatakan,

كل أمتي معافى ـ اسم مفعول من العافية، وهو إما بمعنى عفا الله عنه، وإما سلمه الله وسلم منه، إلا المجاهرين أي المعلنين بالمعاصي المشتهرين بإظهارها الذين كشفوا ستر الله عنهم.... ثم فسر المجاهر بأنه الذي يعمل العمل بالليل فيستره ربه ثم يصبح فيقول يا فلان إني عملت البارحة كذا وكذا، فيكشف ستر الله عز وجل عنه ـ فيؤاخذ به في الدنيا بإقامة الحد، وهذا لأن من صفات الله ونعمه إظهار الجميل وستر القبيح، فالإظهار كفران لهذه النعمة وتهاون بستر الله

“Setiap umatku akan diampuni dan diselamatkan Allah, kecuali mereka yang bermaksiat terang-terangan, yaitu mereka yang mengekspos kemaksiatan dan terkenal kerap melakukannya dengan terang-terangan. Mereka itulah yang menyibak tabir Allah pada diri mereka...kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendeskripsikan tindakan bermaksiat terang-terangan dengan perbuatan seorang yang bermaksiat di malam hari tanpa diketahui, namun dia menceritakan perbuatannya pada orang lain di pagi hari. Dengan itu, ia telah menyingkap tabir yang diberikan Allah untuk menutupi kemaksiatannya, sehingga dia pun dijatuhkan sanksi hadd di dunia. Salah satu sifat dan karunia Allah adalah menampakkan keindahan dan menutup keburukan, maka dengan mengekspos keburukan merupakan pengingkaran terhadap nikmat itu dan meremehkan tabir Allah atas kemaksiatan tersebut.” [Faidh al-Qadir]

-bersambung-

#serial_larangan_akidah
⛔️ [Serial Larangan Akidah] Janganlah melakukan kemaksiatan secara terang-terangan di hadapan publik dan janganlah mengekspos dosa jika tak ada orang yang mengetahui (2) ⛔️

Ibnu Baththal rahimahullah mengatakan,

في الجهر بالمعصية استخفاف بحق الله ورسوله وبصالحي المؤمنين، ومنه ضرب من العناد لهم، وفي الستر السلامة من الاستخفاف، لأن المعاصي تذل أهلها، ومن إقامة الحدِّ عليه إن كان فيه حد، ومن التعزير إن لم يوجب حدًّا

“Mengekspos kemaksiatan dengan terang-terangan sama saja merendahkan hak Allah, rasul-Nya, dan orang beriman yang shalih. Tindakan itu seolah-olah bentuk penentangan kepada mereka. Padahal dengan menutupi kemaksiatan itu, ia bisa selamat dari celaan orang lain, karena kemaksiatan pasti mengundang kehinaan terhadap pelakunya. Selain itu dengan menutupi kemaksiatan mampu menyelamatkan pelaku dari penegakan sanksi hadd apabila ada ketentuan hadd untuk kemaksiatan tersebut; dan juga bisa menyelamatkannya dari sanksi ta’zir untuk kemaksiatan yang tidak diberlakukan hadd.” [Fath al-Baari]

An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

يكره لمن ابتلي بمعصية أن يخبر غيره بها. يعني ولو شخصاً واحداً، بل يقلع عنها، ويندم، ويعزم أن لا يعود...
فإن أخبر بها شيخه أو نحوه ممن يرجو بإخباره أن يعلمه مخرجاً منها، أو ما يسلم به من الوقوع في مثلها، أو يعرفه السبب الذي أوقعه فيها، فهو حسن، وإنما يحرم الإجهار حيث لا مصلحة؛ لأن المفسدة حينئذ ستكون واقعة. فالكشف المذموم هو الذي يقع على وجه المجاهرة والاستهزاء، لا على وجه السؤال والاستفتاء، بدليل خبر من واقع امرأته في رمضان فجاء فأخبر النبي ﷺ لكي يعلمه المخرج ولم ينكر عليه النبي ﷺ في إخباره

“Orang yang tengah ditimpa musibah berbuat kemaksiatan dilarang untuk menceritakan hal itu ke orang lain, meski hanya satu orang! Bahkan seharusnya dia segera meninggalkan kemaksiatan itu dan menyesal, serta bertekad untuk tidak mengulangi...

Jika dia menginformasikannya kepada guru atau orang yang diharapkan mampu memberikan solusi, memberitahukan sarana yang bisa mencegah dirinya dari perbuatan serupa, atau mendiagnosa penyebab yang menjerumuskannya dari dosa itu, maka perbuatan itu baik. Mengekspos kemaksiatan itu terlarang jika tak ada manfaat karena yang timbul hanya mafsadat bagi pelakunya. Maka, membeberkan kemaksiatan itu tercela jika dilakukan dengan terang-terangan di depan publik dengan sikap meremehkan, bukan dalam konteks bertanya dan berkonsultasi.

Menginformasikan kemaksiatan pada orang lain boleh dilakukan dalam konteks bertanya dan berkonsultasi berdasarkan dalil bahwa dulu ada seorang sahabat yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadhan kemudian dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menginformasikan perbuatannya dan meminta solusi atas dosanya itu. Saat itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari perbuatan sahabat yang menginformasikan kemaksiatannya kepada beliau.” [Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim]

#serial_larangan_akidah

Silakan disebarluaskan

═══ ¤❁✿❁¤ ═══
*Telegram:* t.me/ayobelajartauhid
*Broadcast harian via WA:* bit.ly/daftar-broadcast-belajar-tauhid
═══ ¤❁✿❁¤ ═══
[Serial Larangan Akidah] Janganlah bersikap tidak acuh kepada Allah sehingga lebih merasa takut ketika ada orang yang melihat perbuatan dosa kita (1)

Dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

لَأَعْلَمَنَّ أَقْوَامًا مِنْ أُمَّتِي يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِحَسَنَاتٍ أَمْثَالِ جِبَالِ تِهَامَةَ بِيضًا فَيَجْعَلُهَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَبَاءً مَنْثُورًا قَالَ ثَوْبَانُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا جَلِّهِمْ لَنَا أَنْ لَا نَكُونَ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَا نَعْلَمُ قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ إِخْوَانُكُمْ وَمِنْ جِلْدَتِكُمْ وَيَأْخُذُونَ مِنْ اللَّيْلِ كَمَا تَأْخُذُونَ وَلَكِنَّهُمْ أَقْوَامٌ إِذَا خَلَوْا بِمَحَارِمِ اللَّهِ انْتَهَكُوهَا

“Sungguh saya telah mengetahui bahwa ada suatu kaum dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan membawa kebaikan sebesar gunung Tihamah yang putih. Kemudian Allah menjadikannya debu yang berterbangan (sia-sia).”
Tsauban bertanya, “Wahai Rasulullah, sebutkanlah ciri-ciri mereka dan jelaskanlah perihal mereka agar kami tidak menjadi seperti mereka tanpa sadar.”
Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka adalah saudara kalian dan dari golongan kalian, mereka shalat malam sebagaimana kalian, tetapi mereka adalah kaum yang jika bersendirian mereka menerjang hal yang diharamkan Allah.” (HR. Ibnu Majah. Dinilai shahih oleh al-Albani)

Penjelasan ringkas

Syaikh Muhammad bin al-Mukhtar asy-Syinqithi rahimahullah mengatakan, “Mereka yang dimaksud dalam hadits ini adalah orang yang meremehkan dan tidak mengacuhkan Allah, sehingga ada perbedaan antara kemaksiatan yang mendatangkan penyesalan dan kemaksiatan yang tidak mendatangkan penyesalan. Ada perbedaan antara orang yang bermaksiat ketika sendiri dan orang yang meremehkan Allah, sehingga kebaikan yang dilakukannya di hadapan manusia layaknya tindakan penuh riya’ yang tak diberi pahala meski bentuknya sebesar gunung.

Apabila berada di tengah-tengah orang shalih, ia menampakkan amalan yang baik karena berharap sesuatu kepada manusia, bukan berharap pahala kepada Allah. Orang ini mengerjakan amal shalih yang besarnya seperti gunung, secara lahiriah amal itu baik, tetapi tatkala bersendirian dia menerjang larangan Allah. Tatkala tersembunyi dari pandangan manusia, dia tidak mengagungkan Allah dan tidak pula takut kepada-Nya.

Kondisi di atas berbeda dengan orang yang bermaksiat ketika bersendirian, namun di dalam hatinya terdapat penyesalan, dia tidak suka perbuatan itu dan membencinya, serta Allah memberikan karunia penyesalan atas kemaksiatan yang telah dilakukan. Orang yang bermaksiat dalam kondisi bersendirian namun merasa menyesal dan merasa terluka atas kemaksiatan yang dilakukan, bukanlah dikatakan sebagai orang yang menerjang larangan Allah karena pada asalnya orang tersebut mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, namun syahwat telah menguasainya sehingga dia pun menyesali kemaksiatan tersebut.

Adapun orang yang disebutkan sebelumnya adalah pribadi yang berkarakter lancang danberani menentang Allah. Inilah makna dari hadits Tsauban mengingat hadits tersebut tidaklah menerangkan perihal satu orang, dua orang atau berbicara tentang kriteria tertentu, namun hadits tersebut menerangkan sifat-sifat secara sempurna.

-bersambung-

#serial_larangan_akidah
[Serial Larangan Akidah] Janganlah bersikap tidak acuh kepada Allah sehingga lebih merasa takut ketika ada orang yang melihat perbuatan dosa kita (2)

Sebagian manusia ada yang bermaksiat tatkala bersendirian dan hatinya memang menentang Allah. Sedangkan yang lain bermaksiat tatkala bersendiri karena takluk akan syahwat, namun jika ditelisik lebih jauh, terkadang keimanan yang dimilikinya mampu mengalahkan syahwat tersebut dan mampu mencegah dirinya untuk bermaksiat. Akan tetapi dalam beberapa kondisi, syahwat membutakannya karena memang syahwat mampu membutakan dan membuat jadi tuli sehingga orang tidak mampu menerima nasehat. Akhirnya dia pun terjerumus ke dalam kemaksiatan dan digelincirkan setan.

Allah berfirman,

إِنَّمَا اسْتَزَلَّهُمُ الشَّيْطَانُ بِبَعْضِ مَا كَسَبُوا وَلَقَدْ عَفَا اللَّهُ عَنْهُمْ

“Hanya saja mereka digelincirkan oleh setan, disebabkan sebagian kesalahan yang telah mereka perbuat (di masa lampau) dan sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka. Sesungguhnya Allah Mahapengampun lagi Mahapenyantun” (Ali ‘Imraan : 155).

Ayat di atas menerangkan bahwa apabila hamba digelincirkan setan hingga bermaksiat, namun di lubuk hati masih terdapat pengakuan bahwa dirinya telah berbuat dosa dan Allah mengetahui tatkala bermaksiat ada penyesalan dalam dirinya, bahwa ia benci akan kemaksiatan tersebut hingga sebagian di antara mereka ketika bermaksiat ada yang berangan-angan agar dirinya diwafatkan sebelum melakukan kemaksiatan tersebut, maka orang yang demikian ini sebenarnya orang yang masih mengagungkan Allah, akan tetapi dia belum diberi karunia berupa keimanan yang dapat menghalangi dari perbuatan maksiat.

Terkadang Allah mengujinya dengan kemaksiatan tersebut karena dia telah menghina orang lain, durhaka pada orang tua, atau memutus silaturahim sehingga Allah tidak menurunkan rahmat-Nya. Bisa juga dia menyakiti ulama atau salah seorang wali Allah sehingga Allah pun mengumumkan perang terhadap dirinya. Dengan demikian kondisi orang tersebut layaknya seorang yang sedang dihinakan meski dalam hatinya ia tidak ridha terhadap perbuatan tersebut.

Maka, orang yang bermaksiat tatkala bersendirian memiliki beberapa tingkatan. Ada yang bermaksiat dan memang bersikap lancang dan meremehkan Allah. Hal ini seperti tindakan sebagian pendosa ketika bermaksiat, dimana tidak ada seorang pun yang melihat dan memperingati dirinya, dia melakukan kemaksiatan tersebut dengan bangga, angkuh, dan pencemoohan terhadap Allah. Mereka mengucapkan kalimat-kalimat penghinaan dan melakukan berbagai perbuatan yang meremehkan kekuasaan Allah, tatkala seseorang menasehatinya dia pun menolak dengan penuh keangkuhan sehingga dirinya menganggap remeh keagungan Allah, agama dan syari’at-Nya. Orang ini secara lahiriah apabila berada di hadapan manusia dia tetap shalat dan berpuasa, namun jika bersendirian dia bermaksiat dan meremehkan keagungan Allah –wal ‘iyaadzu billah-. Orang yang demikian tentu tidak sama dengan mereka yang terkalahkan oleh syahwat, terfitnah dengan apa yang dilihatnya namun menyadari bahwa kemaksiatan yang dilakukannya dapat membawa musibah dan kehancuran. Dia mengerjakan kemaksiatan tersebut, namun hatinya tidak nyaman dengan maksiat tersebut, merasa terluka dan menyesal ketika telah melakukannya.

Dengan demikian, kandungan hadits Tsauban ini tidak bersifat mutlak. Kandungan dari hadits ini hanya mencakup mereka yang bermaksiat di kala bersendirian dan di dalam dirinya terdapat penentangan dan sikap meremehkan batasan-batasan Allah –wal ‘iyaadzu billah-” (Syarh Zaad al-Mustaq’ni’ nomor pelajaran 332).

#serial_larangan_akidah

♻️ Silakan disebarluaskan

═══ ¤❁✿❁¤ ═══
*Telegram:* t.me/ayobelajartauhid
*Broadcast harian via WA:* bit.ly/daftar-broadcast-belajar-tauhid
═══ ¤❁✿❁¤ ═══
SERIAL LARANGAN AKIDAH

Janganlah mencari simpati dan pujian manusia dengan mengundang kemurkaan Allah

Dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, beliau menyampaikan bahwa Rasulullah shalllahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللَّهِ بِسَخَطِ النَّاسِ : رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ ، وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللَّهِ ، سَخَطَ اللَّهُ عَلَيْهِ ، وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ

“Setiap orang yang lebih memilih ridha Allah meski dengan mengundang murka manusia, niscaya Allah akan meridhai dan menjadikan orang lain ridha. Dan setiap orang yang lebih memilih ridha manusia meski dengan mengundang murka Allah, niscaya Allah akan murka dan menjadikan orang lain murka.” [HR. Ibnu Hibban. Dinilai shahih oleh Al-Albani].

Penjelasan ringkas
Kewajiban kita adalah memprioritaskan perintah dan keinginan Allah di atas kepentingan makhluk. Sesungguhnya Allah ta’ala mampu mencukupi kebutuhan kita, sedangkan makhluk takkan mampu mencegah siksa Allah atas diri kita.
Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah mengatakan,

فالمؤمن إذا التمس رضا الله واجتهد في طاعته الله، الله يكفيه مؤونة الناس ويكفيه شرهم ويرضي عنه الناس؛ لأنه قدم حق الله جل وعلا؛ فهو سبحانه وتعالى يعامله بالخير ويرضي عنه الناس، ويكف شرهم عنه، كما في اللفظ الآخر: من التمس رضا الله بسخط الناس كفاه الله مؤونة الناس، فليتمس رضا الله وليجتهد في طاعة الله وإن سخط الناس والله يكفيه مؤونتهم يسأله أن يكفيه شرهم، يسأله أن يعافيه من شرهم، وهو سبحانه الجواد الكريم جل وعلا، وليحذر أن يلتمس رضا الناس بسخط الله، يحذر المؤمن أن يرضي الناس بسخط الله، يرضي أباه بالمعصية يرضي أخاه بالمعصية يرضي الأمير بالمعصية لا يجوز، الواجب أن تبين له أن هذا لا يجوز لك، وأن تطلب من أبيك إذا طلب منك ما يسخط الله تقول له: لا يا والدي هذا ما يجوز، أبوك يقول لك: احلق لحيتك، تقول: يا أبي هذا ما يجوز، الرسول ﷺ نهانا عن هذا، يقول لك: اشرب الخمر، تقول له لا يا والدي إنما الطاعة في المعروف ما أطيعك في المعصية، وهكذا لا تطع أباك ولا غير أباك في المعصية.

“Orang beriman apabila mencari ridha Allah dan berupaya keras menaati-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya dari beban yang dialami manusia, menjaganya dari keburukan manusia, dan membuat mereka ridha kepadanya, karena ia telah memprioritaskan hak Allah ta’ala. Allah ta’ala akan memperlakukannya dengan baik, membuat manusia ridha kepadanya dan menjaganya dari keburukan mereka seperti yang disebutkan dalam redaksi hadits yang lain “Setiap orang yang berupaya mencari ridha Allah meski dengan mengundang murka manusia, niscaya Allah akan mencukupinya dari beban manusia”.

Maka, hendaknya ia mengutamakan ridha Allah dan gigih dalam menaati-Nya. Apabila ternyata manusia murka karena hal itu, niscaya Allah akan menjaga. Dia tinggal memohon agar Allah menjaga dan menyelamatkan dirinya dari keburukan mereka. Dia-lah Allah ta’ala, yang Mahadermawan lagi Mahamulia.
Berhati-hatilah! Jangan sampai anda mengutamakan ridha manusia dengan mengundang murka Allah!

Orang beriman hendaknya waspada, jangan sampai dirinya mencari ridha manusia dengan berbuat maksiat sehingga mengundang murka Allah. Misal dengan bermaksiat agar orang tua, kakak, atasan, atau penguasa senang. Hal itu tidak diperbolehkan karena kita berkewajiban menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan adalah sebuah kemaksiatan. Sebagai contoh, apabila orang tua memerintahkan untuk mencukur jenggot, maka terangkan kepadanya bahwa hal itu tidak boleh karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarangnya. Atau engkau diperintahkan untuk meminum khamr, terangkan padanya bahwa ketaatan itu hanya berlaku pada perintah yang bernilai kebaikan dan engkau tidak akan menaati perintahnya untuk bermaksiat kepada Allah. Begitulah seharusnya sikap anda, yaitu tidak menaati orang tua atau selain mereka, jika perintah tersebut untuk melakukan kemaksiatan” [diakses dari : https://binbaz.org.sa/audios/1626/31--باب-قول-الله-تعالى-انما-ذلكم-الشيطان-يخوف-اولياءه]

#serial_larangan_akidah

Silakan disebarluaskan

═══ ¤❁✿❁¤ ═══
*Telegram:* t.me/ayobelajartauhid
*Broadcast harian via WA:* bit.ly/daftar-broadcast-belajar-tauhid
═══ ¤❁✿❁¤ ═══
JANGANLAH MENGARAHKAN SELURUH NIAT, MAKSUD, DAN KEINGINAN KITA KEPADA KEHIDUPAN DUNIA
.
Allah ta’ala berfirman,
.
مَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَٰلَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِى ٱلْءَاخِرَةِ إِلَّا ٱلنَّارُ ۖ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا۟ فِيهَا وَبَٰطِلٌ مَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ
.
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” [Hud: 15]
.
Penjelasan Ringkas
.
Syaikh Abdurrahman ibn Nashir as-Sa’di menuturkan,
.
يقول تعالى: { مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا } أي: كل إرادته مقصورة على الحياة الدنيا، وعلى زينتها من النساء والبنين، والقناطير المقنطرة، من الذهب، والفضة، والخيل المسومة، والأنعام والحرث. قد صرف رغبته وسعيه وعمله في هذه الأشياء، ولم يجعل لدار القرار من إرادته شيئا، فهذا لا يكون إلا كافرا، لأنه لو كان مؤمنا، لكان ما معه من الإيمان يمنعه أن تكون جميع إرادته للدار الدنيا، بل نفس إيمانه وما تيسر له من الأعمال أثر من آثار إرادته الدار الآخرة.
.
“Maksud firman Allah ta’alaمَن كَانَ يُرِيدُ ٱلْحَيَوٰةَ ٱلدُّنْيَا وَزِينَتَهَا adalah setiap kehendaknya terbatas pada kehidupan dan perhiasan dunia, yaitu seluruh kehendaknya ditujukan pada kecintaan kepada wanita, anak, dan harta yang melimpah berupa emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Seluruh keinginan, upaya, dan aktivitas diprioritaskan untuk memiliki semua itu dan tidak mengalihkannya untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat. Kondisi itu hanya dilakukan oleh orang kafir, karena andai ia beriman pasti ada keimanan yang akan menghalangi seluruh kehendak dan niatnya ditujukan untuk memperoleh dunia. Bahkan bagi orang beriman, keimanan dan aktivitas amalnya sepatutnya merupakan bekas atau tanda keinginan dan kehendak untuk memperoleh kehidupan akhirat.” [Taisir Karim ar-Rahman]
.
Apabila keduniaan menjadi cita-cita yang tertinggi, maka pengetahuan kita pun akhirnya akan terbatas pada kehidupan dunia semata. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdo’a,
.
اللّهُمَّ لاَ تَجْعَلِ الدُّنْيَا أَكْبَرَ هَمِّنَا وَلاَ مَبْلَغَ عِلْمِنَا
.
“Ya Allah, janganlah Engkau jadikan kehidupan dunia sebagai obsesi terbesar dan puncak keilmuan kami.” [HR. at-Tirmidzi]
.
#serial_larangan_akidah